he garden strawberry is a common plant of the genus Fragaria which is cultivated worldwide for its fruit, the (common) strawberry. The fruit is widely appreciated, mainly for its characteristic aroma but also for its bright red color, and it is consumed in large quantities — either fresh, or in prepared foods such as preserves, fruit juice, pies, ice creams, milk shake, etc.. Artificial strawberry aroma is also widely used in all sorts of industrialized food products.
under construction

Ibuku, Sang Pejuang Tangguh

>> Tuesday, December 15, 2009


Bismillahirahmanirrahim..^^

Based on True Story

Ibuku, Sang Pejuang Tangguh

Berlari dan terus kuberlari di siang yang terik pada hari itu, panasnya udara siang yang seakan membakar kulit tipis ini dan tajamnya pucuk-pucuk pohon bambu yang berjejer di tepian sungai itu tak menggoyahkan niatku untuk mengejar sesuatu di depan sana, seseorang yang sangat berarti untukku. Mboke……….mboke…….aja ninggali aku mbok….” Sebuah prosa dalam bahasa jawa yang tergolong ‘tak halus’ jika dibandingkan dengan tata krama bahasa jawa keraton Yogyakarta yang berarti panggilan untuk ibu agar tidak meninggalkan aku.

Cerita kenakalan masa kecil yang terhempas dalam ingatanku ketika ibuku akan pergi ke kota, kota yang kuimpikan, yang jarang kuinjakkan kakiku di sana, karena apalah daya..aku hanyalah seorang anak desa yang bermimpi akan dibelikan banyak buah tangan jika aku juga ikut ibuku ke sana. Berlari…dan terus kuberlari..

Dari tempat perhentian kendaraan umum saat itu, samar kulihat ibuku dari kejauhan dengan kupluk (jilbab) dan jarit (kain kebaya) terbaik yang dipakainya untuk kondangan pada saat itu membuat ibuku tampak serasi dengan kulit hitam manis dan kelembutan hatinya. Ibuku tercengang dan tersenyum-senyum sendiri ketika melihatku sudah berdiri di_depannya, di samping andong (kuda delman) yang waktu itu menjadi kendaraan publik bagi masyarakat desa. Aku berhasil mendahuluinya di_mana sebelumnya dengan segala daya dan upaya beliau sudah berhasil keluar rumah dari pintu belakang untuk mengelabuiku agar aku tidak ikut serta bersamanya dan agar aku tidak terlalu lelah dalam perjalanan. Itulah ibuku, sabar dengan kenakalanku, sabar dengan tantangan hidup yang keras ini, sabar dengan segala takdir yang diterimanya.

Ibuku adalah seorang janda yang dijodohkan dengan ayahku yang waktu itu masih berstatus bujang oleh keluarga besarnya. Ayahku terlahir dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan, dalam keluarga kyai yang mempunyai santri beratus-ratus atau bahkan mencapai ribuan jumlahnya pada saat itu. Awal pernikahan orangtuaku terjamin dengan kondisi ekonomi berkecukupan. Kehidupan berlalu dan terus berlalu… takdir mengatakan lain ketika mbah ku jatuh sakit dan dipanggil ke hadirat Sang Penguasa jagat raya, diiringi dengan kondisi ekonomi keluarga yang mulai menyurut seiring dengan menurunnya jumlah santri di pondok pesantren. Kondisi ini membuat ayahku harus bekerja keras untuk mencukupi keluarga kami bahkan harus berjuang di pulau ranah, di bumi malayu di_mana bukit barisan terbentang dari utara sampai ke selatan pada bagian barat pulaunya, di tanah di_mana para pejuang tangguh seperti Cut Nyak Dien, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol dan sederetan nama pahlawan lainnya berjuang dalam tiap goresan dan tetesan darah demi kemerdekaan yang harus diraih. Ayahku pun berjuang dengan sekuat tenaga di negeri di_mana sungai Musi mengalir untuk mendapatkan secercah rizki, tetapi sekali lagi..takdir membuat ayahku harus mensyukuri apa yang ada untuk terus bersabar dan bertawakal dengan getirnya hidup di pulau asing itu.

Keadaan ayahku yang tidak dapat mengirimkan uang kepada kami atau bahkan sulit untuk mencari sesuap nasi bagi dirinya sendiri di pulau yg konon terkenal dengan nama “negeri emas”, memaksa ibuku untuk berjuang sendiri di pulau ini untuk terus menghidupi kami keenam anaknya. Ibuku menjadi tulang punggung keluarga, mencari pencaharian dengan berdagang apa saja dilakoninya dari berdagang sayuran, makanan, gerabah, bahkan sampai segala macam sandang dan panganan yang halal.

Sejak sang surya belum menunjukkan sinarnya, ibuku sudah menyiapkan kebutuhan kami dari masakan, pakaian, dan pekerjaan rumah tangga lainnya serta persiapan perbekalan untuk berdagang. Perjalanan perdagangannya pun memakan waktu yang lama karena tidak hanya di desa saja, akan tetapi sampai antar kota dan bahkan sampai antar propinsi, beliau lakoni pekerjaan mulia tersebut dengan berjalan melewati sungai demi sungai, hutan demi hutan, dan gunung dengan bakul (keranjang dagangan) di punggung dan menggandeng adikku yang masih kecil dengan tangan yang satunya lagi. Rembulan sudah berada pada singgasananya ketika ibuku pulang, kemudian shalat, mengaji, dan hadir dalam majelis-majelis ta’lim tidak pernah dilalaikannya setelah bepergian seharian. Kelelahan memang teramat sangat, tetapi bertemu dengan Sang Khalik adalah investasi yang tak bisa tergantikan dibanding lainnya.

Ibuku adalah pejuang yang cerdas, beliau memang buta huruf, tetapi beliau mampu mengakalinya layaknya Mc Gyver dengan berbekal kecerdasan dan mengentaskan segala permasalahan dengan HANYA apa yang ada. Ibuku melakukan seperti apa yang dilakukan oleh jagoan Sains tersebut dalam sebuah serial TV yang terkenal di era tahun 90-an. Ibuku memang tidak dapat mengenal angka, tapi beliau dapat menciptakan angka untuk dirinya sendiri. Ibuku tidak tahu berapa itu seribu, tidak tahu angka berapa dan berapa jumlahnya yang harus ditulis untuk dapat membuat nilai 1000, yang ibuku tahu hanyalah angka binary, 0 dan 1. Jika 1000, beliau menciptakannya dengan nilai 0-nya berjumlah satu (tulis: 0) dan jika ada yang menagih 2000 beliau mencatatkannya dengan nilai 0-nya berjumlah dua (tulis: 00). Tidak pernah kehilangan akal dan berputus asa adalah salah sifat beliau. Ibuku mampu mengatasi kekurangan kondisi keuangan yang ada dengan kulit pisang dijadikan sayuran, satu telur dicampur dengan terigu yang banyak supaya bisa menjadi besar dan rata untuk dibagi kepada kami anak-anaknya, dan selalu bisa mengambil kesempatan pada setiap keramaian dengan berdagang baik gorengan, es, kelontong, baju, dan masih banyak lagi yang lain.

“Pik…jangan begitu terhadap adikmu! Biar bagaimanapun dia adikmu, sama2 makhluk ciptaan Allah dan ibu bangga dengan kalian..” perkataan ibu meresap dan membekas dalam ingatanku ketika aku memarahi adikku yang paling kecil, adikku yang tidak sepatutnya aku salahkan karena kekurangan, kecacatan, badan dan mukanya kecil serta berperilaku seperti layaknya manusia primata yang mungkin tidak bisa disamakan dengan manusia normal biasa. Pernah satu kali aku dibuat malu karenanya, dia merebut barang berharga milik temanku, sebuah kalung yang waktu itu sedang dipakai temanku, temanku langsung terkejut dan pucat pasi raut mukanya pada saat itu, tanpa pikiran yang jernih dan perasaan malu yang bergelora dalam dada ini segera saja aku memarahi adikku tanpa ampun. Ibuku yang mendengar hal tersebut memberitahuku untuk tidak berbuat hal seperti itu lagi, karena dia sama seperti manusia biasa, bahkan bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti adikku bisa lebih baik dan bahkan menjadi orang sukses nantinya dengan seizinNya. “Ibu bangga dengan anak-anak ibu dan ibu ingin agar kalian lebih maju daripada ibu, dan seandainya kalian sukses suatu saat nanti...janganlah kalian takabur akan apa yang telah kalian capai.. eling karo sing nduwe urip (ingatlah pada Sang Pemilik kehidupan)…”.

Ibuku tidak pernah menunjukkan raut muka letih kepada kami anak-anaknya, muka berseri-seri selalu ditampakkannya setiap hari walau kutahu banyak penagih hutang dagangan di luar sana yang selalu berlari-lari mengejarnya. Getirnya roda kehidupan yang belum menunjukkan perputarannya membuat ibuku harus menanggungnya sendiri kepedihan saat itu. Waktu demi waktu berlalu, sakit yang diderita ibuku semakin membuatnya semakin lemah, aku sudah berusaha semampuku untuk pergi ke dokter, kyai, dan lain sebagainya. Kujaga terus ibuku malam demi malamnya dan hari demi harinya serta do’a yang selalu kupanjatkan dalam setiap shalatku “Ya Allah…sayangngilah kedua orang tuaku, sebagaimana mereka telah mendidik aku di waktu kecil”. Aku dibuat tak berdaya karenanya, ibuku sudah menunjukkan keletihan yang teramat sangat yang tersemburat pada raut mukanya pada hari itu. Berbaring di atas pangkuanku dan dengan gemetar bibir birunya seakan-akan ingin mengatakan sesuatu kepadaku, perlahan kudekatkan diri ini agar dapat mendengar suaranya lebih jelas. Dengan suara lirih dan desahan nafas yang melemah ibuku berpesan, “Pik…nek aku mati…tolong bayari utangku ya….eling karo sing nduwe urip, ojo lupa sholat ya...” detak jantungku berdegup kencang saat pesan-pesan itu diucapkannya, kudekatkan lagi pendengaranku agar dapat mendengar lebih jelas apa yang masih ingin beliau sampaikan, tapi hampa yang kurasa, hening, dan tak bersuara lagi, tangan dingin yang sudah kugenggam erat dari tadi tiada lagi tenaganya, kuberanikan diri melihat apa yang terjadi, pucat kudibuatnya “ibu…!!!!!!!!!!.....jangan tinggalkan aku bu!!!!!.... aku belum menjadi anak yang berbakti… aku masih bandel.. aku belum membahagiakan ibu… jangan tinggalkan aku bu!!! …” meraung saat itu aku dibuatnya, tak kuat hati ini melihat kepergian ibuku untuk selama-lamanya. Kudekap erat jasad ibuku yang sudah tak berdaya seakan tak ingin ku melepaskannya lagi. Terhempas kembali ingatan aku mengobrak abrik barang dagangan ibuku sebelum pergi berdagang ke luar kota yang membuat ibuku menjadi marah dan kesiangan dibuatnya hanya karena keegoisanku ingin ke kota..“Aku belum mengucapkan maaf bu…..maafkan aku…maafkan aku…innalillahi wa innailaihi ra’jiun..” bisik ku dalam hati dengan lelehan air mata ini yang tak henti-hentinya mengalir dari tadi. Sungguh cantik parasmu pada saat itu ibu..tiada beban lagi yang terlihat dari cantik wajahmu.

Aku memang belum bisa sekaya Usamah radyillaHu ‘anHu yang pernah membelikan kurma untuk ibunya walaupun ketika itu harga kurma sangat mahal, belum pula pengorbanan saya seperti Ibnul Hasan at Tamimi ketika beliau tersengat kalajengking dalam perlindungannya terhadap bundanya, dan belum sampai tingkat baktiku menyamai bakti Umar terhadap ibu tercintanya dalam penjagaannya siang dan malam hari, tapi azzamku bu..aku akan melaksanakan perintahmu yang terakhir, akan kulaksanakan apa yang pernah kau ajarkan padaku bu, akan kudidik istri dan anakku agar dapat menjadi wanita tangguh seperti dirimu. Karena pintu itu telah tertutup dengan kepergianmu… yang sebelumnya aku mempunyai dua pintu yang terbuka untuk menuju surga dan sekarang salah satunya tertutup. Hanyalah do’a yang dapat kupanjatkan untuk kepergianmu bu, dan namamu akan tetap harum dalam sanubariku. Keberhasilan dan kesuksesan yang kuraih saat ini bukanlah tanpa pengorbananmu bu, yang kudapat pada hari ini adalah karena doa, kasih sayang dan cinta tulus darimu yang selalu menaungi setiap jalanku dalam setiap waktu.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin..

Thanks to

Storyteller: Bapak M. Taufik

Editor: Deasy Rosalina

0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP  


Korea Top News